MONOLOG
DEPRESI
Dunia adalah sebuah lembaran penuh makna, ada garis hitam yang selalu di coretkan dalam sebuah kertas, dan adapula putih yang di kaitkan dalam menemani sang hitam. Terlalu banyak keluh kesah yang harus di lewati. Marah, sedih, kecewa, tertawa bahkan cinta. Entah apa daya, saat seorang perempuan yang baru menginjak jenjang remajanya harus menjalani masa-masa terindah dalam hidupnya (red: masa putih abu-abu) dengan penuh tekanan.
Masuk
ke dalam kamar dan membanting buku paket.Menatap tajam pada
para
penonton sambil menaikkan sebelas alis.
lalu
tertawa masam tak berarti dan mulai bersenandung na na na
sambil
mengitari para penonton dengan wajah layu.
Tiba-tiba
merengkuh tersender pada dinding kamar.
Tuhan, di manakah Engkau? Di mana,
Tuhan?
Terus
bertanya dengan keberadaan Tuhan dengan suara parau.
Hati
mulai bergejolak dan mata semakin sayu.
Sura
pun naik turun.
Tuhan, tolong jawab! Di manakah
Engkau sekarang?
Tetap
merengkuh, tersungkur di atas lantai.
Namun,
mulai memeluk ke dua kakinya dengan erat dan
semakin
berlarut dalam kesedihan.
Di mana Tuhan? Di mana? Di mana?
Suara
mulai meninggi.
Tuhan, tolong jangan tinggalkan aku.
Jangan biarkan aku sendiri. Jangan biarkan aku terjatuh, terjatuh dalam jurang
yang penuh keabadian. Aku tahu, jurang itu cukup tangguh untuk menyeretku masuk
ke dalamnya. Aku takut, sangat takut Tuhan. Tolong jangan lepaskan tanganku,
Tuhan. Aku hanya membutuhkanmu. Bisakah Engkau berlama berada di dekatku?
Sebentar saja, menuntunku untuk keluar dari tempat busuk ini.
Bangkit
berdiri lalu menunjuk setiap penonton yang berada di depannya.
Wajah
mulai menampakkan aksi geram, maka kesedihan mulai menciut, dan terganti dengan
wajah penuh amarah.
Mengapa? Mengapa dunia terasa tak
adil bagiku. Semuanya tak pernah memedulikanku. Aku hanya sendiri dalam
kegelapan. Aku terkurung, aku di cekam, dan aku di kekang. Aku takut
sebias cahaya menyinariku.
Bermain-main di atas kepala dan memaksaku untuk masuk ke dalam dunia entah
berantah itu.
Hei,
mengapa kalian menatapku dengan topeng busuk itu? Topeng yang telah lam
membatasi wajah asli kalian. Dan bisakah kalian berhenti memasang senyum di
depanku? Tolong jangan munafik di depanku. Aku tahu kalian yang sebenarnya.
Para peneror yang tak pernah menghargai orang lain. Menyiksa dan melihat orang
lain dengan sebelah mata? Hei, siapa yang pencundang sobat? Aku atau kalian
yang penuh kebusukkan?
Senyum sinis mulai merekah dan
tertawa kecut pun mulai terpancar dari wajahnya.
Lalu sambil mengacak-ngacak
rambutnya dan meremas kepalanya, ia pun berkata…
Jujur, aku capai (red: capek), aku
capai Tuhan. Mengapa mama papa tak pernah melihatku? Dan tak pernah berpaling
dari anak-anak kesayangannya?
Memperagakan
seorang ibu yang sedang sibuk berbelanja.
Mama hanya pergi berbelanja,
berbelanja, menggais uang dari kantong papa.
Memperagakan
pula seorang ayah yang sedang duduk membaca atau menulis sesuatu.
Sedangkan papa hanya bekerja,
bekerja, dan bekerja demi mencari uang yang banyak.
Melangkah
dengan sangat pelan, suara masih labil, kadang tinggi, kadang pelan seperti
membisiki sesuatu.
Kini, aku telah memasuki dunia baru,
dunia para remaja, dan aku bingung, apakah jiwaku harus terus melayang di
tengah kelamnya dunia? Aku masih labil. Aku butuh sentuhan hangat dari kalian,
aku hanya butuh kasih sayang dari mama dan papa, cuma itu.
Memegang
uang dan mengibas-ngibaskannya di depan penonton.
Bukan uang, pa? Bukan uang, ma?
Apalah arti uang apabila aku terus dalam kesendirian serta mereka yang selalu
menghiraukan keberadaanku.
Membuang uang sehingga uang-uang
tersebut berserakan di depan panggung.
Menunjuk
sekali lagi pada para penonton. Lalu, menghela napas.
Yah…
Terus
berdiri. Melanjutkan omongan sambil memegang dada yang serasa sesak.
Hidup memang selalu merisaukan hatiku.
Aku di biarkan, aku di tinggalkan, aku di manfaatkan, aku terpojok, dan selalu
aku sendiri. Seperti anak hilang di antara kerumunan orang. Aku hanya ingin
mengungkapkan bahwa aku ingin mengucapkan terima kasih karena kalian (menunjuk
para penonton), mama papa, adik-adik telah menjadi bagian dari warna sari
kehidupanku. Terlebih Tuhan yang tak pernah meninggalkanku di saat ku semakin
terpuruk dan setidak adilnya Tuhan buktinya hingga saat ini aku masih bisa
bernapas. (Menghela napas sekali dengan tajam dan membuangnya dengan kasar).
Namun, hidup memang pilihan.
Mengambil
sebuah pil yang telah berada di dekatnya sadari tadi.
Menelannya
tanpa setetes air.
Maka pilihan inilah yang telah ku
ambil dan aku harus menanggung segala sesuatu yang telah ku perbuat.
Dada
semakin sesak, pikiran terasa jauh di angan-angan, badan semakin
terhuyung-huyung tak pasti arahnya, mata semakin sayu, tangan dan kaki yang
begitu lemas. Bersenandung na na na semakin lama semakin pelan suaranya. Lalu,
berteriak histeris, melolong-lolong, menggerogoti tenggorokan para penonton.
Terima kasih, Tuhan.
Tubuhnya
tersungkur di atas tanah dan tergeletak tak bernyawa di atas lantai kamarnya.
Semilir angin berembus di
sekeliling, udara malam memang sungguh mencekam, tak pernah peduli hati yang
sedang tertekan. Maka, begitulah sepenggal kisah gadis remaja yang sedang
mencari jati diri sebenarnya yang sangat membutuhkan kasih sayang dari
orangtuanya. Segala sesuatu terasa sulit, namun saat kita merasa hidup kita
sangatlah berharga, jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan bernapas yang telah
di berikan, tapi tetaplah berusaha tersenyum menghadapi tantangan di depan
walau hati terasa perih kesakitan.







0 komentar:
Posting Komentar